B. PENGERTIAN TASAWUF
Secara etimologi ada beberapa pendapat tentang asal-usul kata tasawuf. Ada yang mengatakan tasawuf berasal dari kata safa’, artinya suci, bersih, murni. Memang, jika dilihat dari segi niat ataupun tujuan dari setiap tindakan dan ibadah kaum sufi, maka jelas bahwa semua itu dilakukan dengan niat suci untuk membersihkan jiwa dalam mengabdi kepada Allah SWT. Beberapa orang, kata al-Kalabadzi, mengatakan: “para sufi dinamakan demikan karena kemurnian hati dan kebersihan tindakan mereka.” Bisyr ibn al-Haris mengatakan:”Sufi adalah orang yang hatinya tulus terhadap Allah.” Yang lain mengatakan: “Sufi adalah orang tulus terhadap Allah dan mendapat rahmat tulus pula daripadaNya.” (Al-Kalabadzi, 1969:1) Tetapi, bila istilah sufi berasal dari safa’, maka bentuk yang tepat, seharusnya safawi. Ada lagi yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata saff, artinya saf atau baris. Mereka dinamakan sebagai sufi, karena berada pada baris (saff) pertama di depan Allah, karena besarnya keinginan mereka akan Dia, kecenderungan hati mereka terhadapNya dan tinggalnya di bagian-bagian rahasia dalam diri mereka di hadapanNya. Akan tetapi bila istilah sufi mengacu kepada kata saff, maka bentuk seharusnya menjadi saffi, bukan sufi.
Ada pula yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata suffah atau suffah al-masjid, artinya serambi masjid. Istilah ini dihubungkan dengan suatu tempat di Mesjid Nabawi yang didiami oleh sekelompok para sahabat Nabi yang sangat fakir dan tidak mempunyai tempat tinggal. Mereka dikenal sebagai ahli suffah. Mereka adalah orang yang menyediakan waktunya untuk berjihad dan berdakwah serta meninggalkan usaha-usaha yang bersifat duniawi. Jelasnya, mereka dinamakan sufi karena sifat-sifat mereka menyamai sifat-sifat orang-orang yang tinggal di serambi masjid (suffah) yang hidup pada masa Nabi SAW. (Al-Kalabadzi, 1969:1) Mereka telah meninggalkan dunia ini, terpisah dari rumah dan meninggalkan teman-teman mereka. Mereka mengambil barang duniawi hanya sekedarnya untuk menutupi ketelanjangan dan menenangkan perut mereka yang lapar. Salah satu dari mereka ditanya: “Siapakah sufi itu?” Ia menjawab: “Dia yang tidak memiliki atau dimiliki.” Maksudnya adalah bahwa ia bukan budak dari keinginan. Yang lain berkata: “Sufi adalah orang yang tidak memiliki apa-apa, atau kalau ia memiliki sesuatu ia mempergunakannya sekedarnya.” Tetapi, kalau istilah sufi berasal dari kata suffah, maka bentuknya yang benar menjadi suffi, bukan sufi.
Sementara yang lain mengatakan bahwa kata tasawuf berasal dari kata suf, yaitu bulu domba atau wol. Mereka tidak memakai pakaian yang halus disentuh atau indah dipandang, untuk menyenangkan dan menentramkan jiwa. Mereka memakai pakaian hanya untuk menutupi ketelanjangan mereka dengan bahan yang terbuat dari kain kasar, suf (wol kasar). Bila kata sufi merupakan turunan dari suf dapat diterima, maka kata sufi ini tepat dari sudut pandang etimologis dan tata bahasa. Al-Kalabadzi berpendapat, bahwa jika kata sufi berasal dari kata suf ini dapat diterima, maka ia tepat menurut gramatika bahasa Arab; dan sekaligus memiliki semua makna seperti mengelak atau cenderung menjauhkan diri dari dunia, meninggalkan tempat tinggal yang telah mapan, terus-menerus melakukan pengembaraan, menolak kesenangan jasmani, memurnikan tingkah laku, membersihkan kesadaran, meluaskan ilmu dan sifat kepemimpinan. (Al-Kalabadzi, 1969:29-30)
Mulanya sebutan sufi yang mengacu pada kata suf dikenakan pada orang-orang Islam yang hidup seperti pertapa (asketis), meniru kehidupan para biarawan Nasrani. Orang-orang tersebut biasanya mengenakan pakaian dari anyaman bulu domba yang kasar, sebagai tanda tobat dan kehendaknya untuk meninggalkan kehidupan duniawi.(Nicholson, 1975:3-4)
Memang, pada mulanya para sufi dalam kenyataannya adalah seperti pertapa dan lebih banyak berdiam diri, ketimbang seorang mistikus. Dengan kesadaran yang luar biasa untuk menghindari dosa, digabungkan dengan rasa takut yang sukar dibayangkan terhadap hari kiamat dan siksa neraka, sebagaimana telah digambarkan secara gamblang di dalam al-Qur’an, akhirnya mereka amat terdorong untuk mpenyelamatan sejak di dunia ini.
Menurut al-Kalabadzi, mereka yang menisbahkan orang-orang sufi dengan orang-orang yang tinggal di serambi masjid dan dengan bulu domba, menampakkan aspek lahiriah keadaan mereka, sebab mereka adalah orang-orang yang telah meninggalkan dunia ini, pergi dari rumah dan sahabat- sahabat mereka. Mereka berkelana ke seluruh negeri, mereka mengambil benda-benda dunia hanya asal cukup untuk menutupi ketelanjangan mereka dan menghilangkan kelaparan. Karena itu, mereka dinamakan “orang-orang asing”, karena banyaknya pengembaraan yang mereka lakukan, mereka dinamakan “pengembara”; karena perjalanan mereka di padang pasir dan pengungsian mereka di gua-gua pada waktu terdesak, orang-orang tertentu di negeri itu menamai mereka syikaftis, sebab kata syikaft dalam bahasa mereka (orang-orang Persia) berarti gua atau gua besar. Orang-orang Syiria menamai mereka “orang-orang yang lapar”, sebab mereka hanya makan asal cukup untuk mempertahankan hidup. (Al-Kalabadzi, 1969:25-26)
Menurut Nocholson, dengan melihat asal-usul kata, serta sumbernya dari bahasa Arab, yang artinya “kemurnian”, atau membawa kepada pengertian, bahwa orang sufi adalah orang yang “murni hatinya” atau insan”yang terpilih. Namun demikian, katanya, beberapa sarjana Eropa berpendapat bahwa asal-usul kata tersebut adalah sophos (bahasa Yunani), dalam pengertian sebagaimana pada kata theosophy, yang artinya kebijaksanaan. (Nicholson, 1975:3-4)
Jirji Zaidan, yang juga berkeyakinan bahwa ada hubungan kalimat Arab ini (tasawuf) dengan kalimat Yunani tersebut, beralasan karena ilmu mereka (orang Islam) belum lagi muncul dan mereka belum dikenal dengan sifat ini, kecuali setelah masa penerjemahan kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa Arab.
Menurut Ibrahim Basyuni, pendapat dan alasan tersebut kurang tepat, karena huruf sigma Yunani disamakan/ditransliterasikan dengan sin Arab pada semua kalimat Yunani yang diArabkan, bukan dengan huruf sad. Jadi kalau sufi asalnya dari Yunani maka mencantumkan huruf sad(pada awalnya) tidak sesuai dengan ketentuan seharusnya. Seharusnya huruf sin sebagaimana kelihatan dalam kata falsafah dari kata philosophia.(Ibrahim Basyuni, 1969:10)
Meskipun secara terminology para ulama berbeda pendapat tentang tentang arti serta asal-usul kata tasawuf, namun yang paling tepat adalah berasal dari kata suf (bulu domba), baik dilihat dari konteks kebahasaan, sikap kesederhanaan, maupun aspek kesejarahan. Orang-orang sufi ingin hidup sederhana dan menjauhi keduniaan, sehingga mereka hidup sebagai orang-orang miskin dengan memakai kain kasar tersebut.
Melihat dari banyaknya definisi tasawuf yang masing-masing sesuai dengan subyektivitas sufi, Ibrahim Basyuni mengklasifikasikan definisi tasawuf menjadi tiga varian yang menunjukkan elemen-elemen. Pertama, al-Bidayah, kedua, al-Mujahadah, dan ketiga, al-Mazaaqat. (Ibrahim Basyuni, 1969:10)
Elemen pertama adalah al-Bidayah (pemula) mengandung arti bahwa secara fitri manusia sadar bahwa semua orang tidak dapat menguasai dirinya sendiri. Karena dibalik yang ada terdapat Realitas Mutlak. Oleh karena itu muncul dorongan dari dalam diri manusia untuk mendekatiNya. Elemen ini dapat disebut sebagai kesadaran tasawuf. Ma’ruf al-Karkhi mengatakan bahwa tasawuf adalah: “Mencari yang hakikat, dan berlepas diri dari apa yang ada di tangan makhluk. Barang siapa yang belum bersungguh-sungguh dengan kefakiran, maka berarti belum bersungguh-sungguh dalam bertasawuf.” Sedangkan Abu Turab al-Nakhsabi mengatakan, “sufi ialah orang yang tidak ada sesuatupun yang mengotori dirinya dan dapat membersihkan segala sesuatu.” Dan menurut Sahal al-Tustury “ seorang sufi ialah orang yang hatinya bersih dari kotoran, penuh pemikiran yang terpusat pada Tuhan , terputus hubungan dengan manusia, dan memandang sama antara emas dan kerikil.
Elemen kedua, al-Mujahadah, sebagai unsur perjuangan keras, karena adanya jarak antara manusia dan Realitas Mutlak yang mengatasi semua yang ada. Bukan jarak fisik tetapi jarak ruhani yang penuh rintangan dan hambatan, sehingga diperlukan kesungguhan dan perjuangan keras untuk dapat menempuh jarak dan jalan tersebut dengan cara menciptakan kondisi tertentu untuk mendekatkan diri kepada Realitas Mutlak. Elemen ini dapat disebut sebagai tahap perjuangan tasawuf. Dalam kondisi ini seorang sufi berupaya menghias diri dengan apa yang baik menurut lingkungan (al-ma’ruf), maupun menurut agama yang bersifat normatif (al-khair). Menurut Abu Muhammad al-Jariri bahwa tasawuf ialah : “masuk ke dalam akhlak yang mulia dan keluar dari semua akhlak yang hina.”(Al-Qusyairi, 1940:138) Hampir sama dengan pengertian tersebut al-Kanani mengatakan bahwa : “ Tasawuf adalah akhlak mulia. Barang siapa yang bertambah baik akhlaknya, maka bertambah pula kejernihan hatinya.” (Al-Qusyairi, 1940:138) Sedangkan menurut Abu Muhammad Ruwaim mengatakan bahwa “Tasawuf terdiri dari tiga perangai: berpegang pada kefakiran dan mengharap Allah, merendahkan diri dan mendahulukan orang lain dengan tidak menonjolkan diri dan meninggalkan usaha.” (Al-Qusyairi, 1940:138)
Untuk mencapai tujuan tasawuf, seseorang harus melakukan berbagai kegiatan (al-mujahadah dan Riyadhah), tidak dibenarkan memisahkan amaliah- amaliah keruhania dengan syari’at agama Islam. Dalam pengertian kedua (dari sisi al-Mujahadah) tasawuf mempunyai pengertian berjuang, menundukkan hawa nafsu atau keinginan. Maka pada pengertian tasawuf pada elemen ketiga al-Mazaqat, mengandung arti bahwa seorang sufi telah lulus mengatasi hambatan untuk mendekati Realitas Mutlak, sehingga dapat berkomunikasi dan berada sedekat mungkin di hadlirat-Nya serta akan merasakan kelezatan spiritual yang didambakan. Tahap ini dapat disebut tahap pengamalan atau penemuan “mistik”. Tasawuf pada tingkat ini lebih dititikberatkan pada rasa serta kesatuan dengan Yang Mutlak, sebagaimana dikatakan oleh Al-Junaid al-Bagdadi, tasawuf ialah bahwa engkau bersama Allah tanpa ada penghubung. Menurut Ruwaim pada elemen ini tasawuf ialah, membiarkan diri dengan Allah menurut kehendaknya. (Al-Qusyairi, 1940:138)
Dengan demikian dapat diungkapkan secara sederhana bahwa tasawuf ialah kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung antara seorang muslim dengan Tuhan. Tasawuf merupakan suatu sistem latihan dengan penuh kesungguhan (riyadhah- mujahadah) untuk membersihkan, mempertinggi dan memperdalam nilai-nilai keruhanian dalam rangka mendekatkan diri (taqarub) kepada Allah, sehingga dengan cara itu, segala konsentrasi seseorang hanya tertuju kepada-Nya.
Ada seseorang berkata seperti ini pada saya:
BalasHapusBerusaha Tanpa Beroda Itu Sombong
Berdoa Tanpa Berusaha Itu Bohong
Sebenernya bagaimana cara komunikasi kepada Allah yang bisa membuat doa dan harapan kita terkabul.
Apalagi di musim CPNS ini, ada seorang yg berkata pd saya bahwa Allah kalah dengan Uang
Jujur hati saya tidak terima, bagi saya kekuasaan tertinggi di tangan Allah, namun seseorang tersebut seolah2 tidak meyakini bahwa Allah selalu ada.
@ Halleyana : tundukkan dirimu, jangan melawan kodratmu sebagai manusia. Pernyataan "Allah kalah dengan uang" mungkin lebih tepat "Tuhan kalah dengan uang", kenyataannya mnusia lebih tunduk kepada uang, kalau menurut anda tunduk kepada uang menyalahi kemnusiaan ya anda bisa memilih? selamat memilih
BalasHapusilmu tassauf adalah ilmu tinggi<hanya orang-orang yang iman nya tinggi yang mampu menjalankannya.
BalasHapushidup adalah anugrah ilahi namun hidup bukan untuk di nikmati tetapi menatap bagaimana hidup kita kelak di akhir kemudian.
BalasHapusharta yang ada di dunia ini hanyalah titipan,maka gunakan harta itu ke jalan yang di ridhoi oleh ALLOH SWT.
BalasHapusCuma cara berpikirnya yg salah, Kalau kita berpikir positif Kpd Allah, Insya Allah positif yg didapat.
BalasHapusHeleyna jadi Mindset berpikirnya yg hrs dirubah, Cobalah bepikir positif kpd Allah, tuhan-tuhan kecil akan kalah, Insya Allah, Allah akan menunjukkan kebenaran kpd Mahluknya yg memohon